’Mama, adzan Isya,’’ obrolan kami terhenti mendengar teriakan lembut Fajar, yang petang itu tengah asyik dengan keyboardPersonal Computer (PC) di sudut ruang tamu. Cukup mengagetkan memang, karena kami merasa belum mendengar apa yang didengar bocah tersebut. Apalagi suara sang Imam Masjidil Haram, Abdurrahman As Sudais yang disetelah di PC cukup mendominasi, membuat suara di luar bagi kami hampir tidak terdengar.
‘’Pendengarannya memang sangat tajam. Begitu adzan dia langsung minta diantar ke masjid,’’ jelas sang ibunda, Heni Sulistyowati, 35 tahun, di kediamannya di kawasan Colomadu Kabupaten Karanganyar kepada Majalah Aitam, belum lama ini.
Ibu muda nan energik inipun bergegas membantu sang anak menyiapkan diri ke masjid. Dibantu Jono, sang pendamping, siswa kelas 2 SDIT Al Ihsan Ngasem, Colomadu ini segera memenuhi panggilan adzan Isya. Keterbatasan gerak tak membatasinya untuk berjalan kaki menuju masjid yang berjarak sekitar 200 meter itu.
CP merupakan Kelainan permanen akibat kerusakan atau kelainan otak yang mempengaruhi kemampuan seseorang dalam mengendalikan ototnya sehingga menyebabkan gangguan fisik dan kelainan pergerakan. CP bukan merupakan penyakit dan tidak bersifat progresif (semakin memburuk).
Setiap hari, sang ibunda yang mengantar kemanapun Fajar pergi. Mulai dari sekolah, menyetor hafalan Al Quran, terapi di dekat rumah, bermain hingga jalan-jalan ke toko buku kesukaannya. Sang ayah, Joko Wahyudiono, 43 tahun, sebulan sekali mengunjungi Fajar. Pekerjaannya sebagai geolog dan melanjutkan sekolah membuatnya tak bisa intens mendampingi sang buah hati.
Keberadaannya di Colomadu memang khusus untuk melakukan terapi. Setiap hari, tak kurang dari 1,5 jam bocah berkulit bersih itu sabar menjalani terapi. Adapun sang ayah, dengan kecanggihan teknologi, terus memberikan dukungan meski terpisah jarak.
‘’Kami akan terus memaksimalkan ikhtiar untuk kesembuhannya sebisa kami. Kami ingin mengantarkan Fajar mewujudkan mimpi-mimpinya. Dia ingin menjadi Imam Masjidil Haram seperti Imam Abdur Rahman As Sudais idolanya. Kami yakin, Allah akan memudahkan langkah kami.’’
Ingin Ketemu As Sudais
Di salah satu sudut dinding rumah, terdapat tulisan di pigura kecil. Di situ, Fajar menuliskan cita-citanya, yakni Fajar akan bisa berjalan, Fajar akan pergi ke Makkah, menjadi Imam di Masjidil Haram dan bertemu As Sudais. Fajar juga ingin menulis buku, membuat mobil, membangun jalan tol dan membangun jembatan besar. ‘’Iya, Fajar ingin menjadi Imam Masjidil Haram. Ingin ketemu As Sudais,’’ kata Fajar dengan artikulasi sedikit terbata. Sungguh sangat menyentuh, cita-cita yang sangat besar untuk anak seusia dia.
Terlahir dengan usia kandungan prematur, 7,5 bulan, pada 2 Oktober 2003, membuat Fajar harus dirawat intensif di inkubator. Hampir sebulan di kotak pengaman itu, sang ayah bunda menitipkan kaset murottal ke perawat jaga untuk disetelkan ke dekat sang buah hati. Setelah diperbolehkan pulang, bayi Fajar hampir 24 jam tak pernah lepas dari memperdengarkan murottal.
‘’Kami sangat yakin Al Quran adalah obat. Saat pulang ke rumah, klep jantung Fajar belum menutup sempurna. Selain terapi medis, kami juga terus memperdengarkan murottal As Sudais untuk Fajar. Sejak awal kami memang sengaja tidak menyetel televisi di rumah.’’
Pasangan yang menikah 12 tahun silam tersebut baru mengetahui Fajar terkena CP pada usia 1 tahun. ‘’Sempat sedih dan protes juga pada Allah, tapi kami meyakini Allah tidak salah memilih kami. Alhamdulillah, papanya Fajar tipenya menenangkan. Sehingga kami bisa menjalani hari-hari sulit kami dengan indah.’’
Selain perkembangan motoriknya yang terlambat, Fajar juga belum lancar berbicara. Namun saat berumur dua tahun, Fajar sudah mampu menirukan akhir ayat yang diperdengarkan. ‘’Di ujung ayat, Fajar selalu menirukan lafadz yang didengarnya. Lalu pada usia tiga tahun, ikut menirukan awal ayat.’’
Pada usia 4,5 tahun, Heni sengaja menghadirkan guru tahfidz di rumahnya, yang kala itu masih di Bandung. Selama enam bulan dibimbing, sang guru menyatakan Fajar sudah hafal 90 persen dari Al Quran meski masih belum urut. ‘’Sayang guru tahfidznya harus pindah keluar kota, sehingga proses mengurutkan hafalannya terhenti.’’
Heni mengungkapkan, tidak gampang mencari guru tahfidz pengganti, mengingat kondisi Fajar yang istimewa. Selama beberapa kali berganti guru, tak menyurutkan langkah Heni untuk terus mengajari sang anak menjadi seorang hafidz. ‘’Awalnya saya tidak memiliki tujuan ke arah sana (menjadikan hafidz), mengingat kondisi anak saya seperti itu. Tapi ternyata Allah memberikan jalan terindah kepada kami.’’
Terapi di Solo
Bagi dia, keterterimaan lingkungan sangat membantu upaya penyembuhan anak semata wayangnya itu. Usaha kerudung anak di Bandung, Jabar miliknya, sementara dia serahkan pengelolaannya kepada sang adik. Dia hanya sekali waktu mengecek perkembangan usaha konveksi yang dirintis sejak lama tersebut.
‘’Alhamdulillah, Fajar sangat nyaman dengan lingkungan rumah dan sekolah. Guru-guru dan siswa SDIT Al Ihsan sangat sayang pada Fajar. Semoga Fajar bisa menjadi anak mandiri dan Alloh mengabulkan cita-citanya.’’
Penuturan Ustadz Muhammad Danil Warisi, Koordinator Guru Alquran SDIT Al Ihsan: Fajar Anak Ajaib
Fajar itu anak ajaib, daya tangkap dan ingatannya sungguh luar biasa. Upaya orang tuanya memperdengarkan Alquran demi kesembuhannya berbuah manis. Ayat-ayat Alloh itu telah menyatu dengan otaknya, darah dan dagingnya. Semoga Allah menjaganya sampai nanti.
Sungguh beruntung orang tuanya, karena akan mendapatkan mahkota cahaya di akhirat kelak karena kesabarannya yang luar biasa membimbing dan mengarahkan Fajar menjadi salah seorang penjaga Al Quran.
Meski motoriknya terbatas, dia mampu mengikuti pelajaran di sekolah. Bahkan dia masuk sepuluh besar terbaik di kelasnya. Benar-benar luar biasa. Meski secara fisik dia tergantung dengan shadow-nya (pendamping-Red) Jono, tapi tidak dengan kemampuan intelegensianya. Dia tergolong anak yang cerdas dan periang.
(Karena keterbatasan motoriknya, di sekolah dia menulis dengan laptop dengan dibantu Jono, sang shadow teacher. Dia tidak pernah menggunakan buku tulis untuk menulis dengan tangannya)
Fajar sangat peka dengan bunyi ayat Al Quran. Memang untuk huruf hijaiyah agak kesulitan menghafal, karena sejak kecil dia terbiasa mendengarkan sekaligus membaca ayat Alquran dari komputer. Ini sangat membantu dianiteni apa yang telah dia baca selama bertahun-tahun. Kebetulan ibunya juga tidak pernah memperdengarkan bunyi lain selain suara murottal di rumahnya.
Pada awal masuk sekolah, ketika dilihatkan huruf hijaiyah satu persatu memang agak bingung. Fajar awalnya memang hanya mengenal tulisan Alquran tapi tidak mengenal tulisan Arab. Sehingga begitu dilihatkan potongan Alquran dia langsung tahu bunyinya. Sekarang ini sudah banyak kemajuan, mulai mengenal huruf hijaiyah. Dan itu tidak mengacaukan hafalannya.
Di sekolah, Alhamdulillah lingkungan di sini sangat bersahabat. Kami, guru-guru SDIT Al Ihsan selalu mengajarkan anak didik kami agar mengedepankan empati serta tidak membedakan sikap dengan siapa saja. Karena itu, siswa kami sangat peduli dengan temannya.
Termasuk terhadap Fajar, anak-anak dengan senang hati membantu memasangkan sepatu khususnya, membantu berdiri saat shalat di masjid. Jadi tidak sekadar menjadi penonton meski sudah ada shadow yang siap membantunya setiap saat.
Ketertarikan dan minatnya akan Alquran sepertinya tidak terganti. Meski di rumah juga sering disetelkan CD kartun seperti sponge bob dan film kartun lainnya, dia cepat bosan. Setelah selesai, pasti Fajar kembali menyetel murottal. Semoga tetap istiqomah sampai nanti.
(Anie R Rosyidah)
Diterbitkan di Majalah Aitam Edisi 9
Posting Komentar