Tahlil atau lebih
dikenal dengan istilah tahlilan, telah diamalkan umat Islam di bumi Nusantara
ini sejak awal penyebaran Islam di Indonesia. Lebih-lebih saat syiar Islam
dipimpin oleh Wali Songo khususnya di Pulau Jawa. Maksud dan tujuan tahlilan
adalah:
1. Dzikir
kepada Allah SWT
2. Mendoakan
kepada ruh orang Islam yang berada di alam kubur, serta memohon maghfirah dan
rahmah untuk mereka.
3. Kirim
pahala bacaan surat-surat atau ayat-ayat dari Al-Quran, kalimah thoyyibah, shalawat dan
sedekah agar meringankan beban mereka di alam kubur serta menambah keni’matan
di Roudlotul Jannah (taman surga).
Tahlil menurut arti
bahasa atau lughowi berasal dari Bahasa Arab Hallala-Yuhallilu-Tahliilan
Yang sama artinya
dengan membaca kalimah: Laa ilaaha illallah
Sedangkan
menurut definisi umum yang berlaku di Indonesia, istilah “tahlil” dipakai untuk
menunjuk sebuah kegiatan di mana di dalamnya terdapat bacaan Laa ilaaha
illallah ditambah surat-surat pendek dari Al-Quran, ayat-ayat Al-Quran yang
mempunyai keutamaan lebih, istighfar, tasbih (membaca subhanallah atau
mensucikan Allah), shalawat (Mendoakan Rasul), dan dzikir-dzikir lain dengan
susunan yang dibuat sedemikian rupa oleh para ulama pendahulu kita.
Hukum Tahlil
Beberapa kalangan mempertanyakan apakah pahala sedekah akan
sampai kepada ruh orang yang telah meninggal? Jawabannya adalah “sampai”,
dengan syarat orang yang meninggal dunia mati dalam keadaan membawa Iman dan
Islam. Hal ini berdasarkan Al-Quran Surat Al-Hasr (59) ayat 10:
Artinya: Dan orang-orang yang datang sesudah mereka
(Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami
dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah
Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman;
Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang".
Dalil Pertama:
عن ابن عباس ان امرأة من جهينة جاءت الى النبي صلى الله عليه و سلم فقالت
أمي نذرت ان تحجّ حتى ماتت أفأحجّ عنها؟ قال حجّي عنها أرأيت لو كان أمك
دين اكنت قاضيه أقضو الله فالله أحقّ بالوفاء ,رواه البخاري
Dari Ibnu Abbas Ra, beliau berkata:
Bahwasannya seorang wanita dari suku Juhainah datang kepada Nabi Muhammad Saw.
lalu ia bertanya: bahwasanya ibuku bernadzar akan haji, tetapi beliau wafat
sebelum membayarkan nadzarnya naik haji itu, apakah boleh saya membayarkan
nadzarnya itu, yakni naik haji? Jawab Nabi: Ya boleh, naik hajilah engkau
pengganti dia. Coba engkau pikir, kalau ibumu berutang tentu engkau harus
membayar utangnya itu, maka utang kepada Tuhan lebih patut untuk dibayar. (H.R.
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Bab Haji dan nadzar)
Dari hadist ini dapat dipahami bahwa pahala amal ibadah haji yang dilakukan oleh
seorang anak dapat diberikan kepada ibunya, sehingga hutang nadzar ibunya
terbayar, sehingga ibunya tidak berdosa kepada Allah.
Dalil kedua:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ
رَجُلًا قَالَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ
أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأُرَاهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ
أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَعَمْ
Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada nabi
saw seraya berkata : Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal
mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia
akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?, Rasul saw
menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits no.1004).
Sementara itu, Imam Nawawi, seorang ulama besar bermadzab syafi'i (631-676 H/ 1233-1277 M) memberikan komentar tentang hadist di atas, "Di dalam hadist ini dinyatakan bahwa orang boleh bersedekah untuk ruh mayyit yang telah berada di alam kubur, bahkan dianjurkan. Pahalanya sampai dan bermanfaat kepadanya. Juga tentu bermanfaat kepada yang bersedekah. Hal ini menjadi ijma' seluruh umat Islam". (Lihat Imam Nawawi, Syarah Muslim, Juz II hal. 84).
Dengan demikian, orang yang tidak percaya bahwa pahala sedekah sampai kepada orang yang telah mati, selain ia menentang kesepakatan umat Islam seluruh dunia, lebih fatal lagi ia berani menentang sabda Nabi Muhammad SAW.
hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَائِطٍ مِنْ حِيطَانِ المَدِينَةِ، أَوْ مَكَّةَ، فَسَمِعَ صَوْتَ إِنْسَانَيْنِ يُعَذَّبَانِ فِي قُبُورِهِمَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يُعَذَّبَانِ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ» ثُمَّ قَالَ: «بَلَى، كَانَ أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ، وَكَانَ الآخَرُ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ» . ثُمَّ دَعَا بِجَرِيدَةٍ، فَكَسَرَهَا كِسْرَتَيْنِ، فَوَضَعَ عَلَى كُلِّ قَبْرٍ مِنْهُمَا كِسْرَةً، فَقِيلَ لَهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لِمَ فَعَلْتَ هَذَا؟ قَالَ: «لَعَلَّهُ أَنْ يُخَفَّفَ عَنْهُمَا مَا لَمْ تَيْبَسَا» أَوْ: «إِلَى أَنْ يَيْبَسَا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati salah satu di antara kebun-kebun Madinah atau Mekkah, lalu Beliau mendengar suara dua orang yang diazab dalam kuburnya, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Keduanya sedang diazab, dan keduanya tidaklah diazab menurut keduanya terhadap dosa besar.” Selanjutnya Beliau bersabda, “Bahkan sesungguhnya itu dosa besar. Adapun salah satunya, maka ia tidak menjaga diri dari kencingnya, sedangkan yang satu lagi berjalan kesana-kemari mengadu domba.” Kemudian Beliau meminta dibawakan pelepah kurma, lalu Beliau mematahkan menjadi dua bagian, dan meletakkan belahannya di masing-masing kubur itu, lalu Beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau lakukan hal itu?” Beliau menjawab, “Mudah-mudahan azab keduanya diberi keringanan selama belahan itu belum kering,” atau bersabda, “Sampai kedua belahan kering.” (HR. Imam Bukhari, Sahih Bukhari Juz 1, Hal. 51)
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, penulis Fahul bari, syarah bukhari, menyebutkan berbagai syarah dan komentar para ulama tentang sebab-sebab kedua mayit di atas diringankan siksanya oleh Allah selama pelepah belum kering:
1. Sebab doa Nabi. Dalam doanya, Nabi membatasi keringanan itu selama pelepah belum kering.
2. Sebab barakah dzikir tasbih dari pelepah kurma. Pelepah kurma selalu bertasbih hingga menjadi kering. Artinya, tumbuhan apapun selama belum kering akan terus bertasbih dan tasbihnya memberikan manfaat kepada mayit. Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani menegaskanm Al-Quran dan dzikir tentu lebih bermanfaat kepada mayit melebihi manfaat tasbih pelepah kurma.
3. Sebab barokah dari tangan Nabi yang meletakkan kedua pelepah tersebut. Pendapat ini disetujui oleh Imam Khaththabi, seorang ahli fiqih Madzab Syafi'i dan ahli hadist sekaligus pensyarah Sunan Abu Dawud. Sehingga beliau menolak tradisi sebagian orang yang meletakkan pelepah kurma di atas kuburan. Namun Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani menolak pendapat ini. Beliau menjelaskan bahwa tradisi tersebut dapat dibenarkan karena walaupun kita tidak mengetahui apakah mayit dalam keadaan disiksa atau tidak, kita tetap saja boleh melakukannya sebagaimana kita dianjurkan mendoakan rahmat kepada mayit tanpa kita tahu apakah si mayit diberi rahmat atau tidak. Ditambah lagi ada riwayat yang menerangkan bahwa Sahabat Nabi, Buraidah Al-Islami sebelum wafat berwasiat agar di atas kuburannya diberi dua pelepah kurma.
Lalu apakah yang pasti dari tiga penjelasan di atas? Yang pasti dapat disimpulkan bahwa orang yang sudah mati dapat menerima amal orang yang masih hidup.
Dalil keempat:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: تُوُفِّيَتْ أمُّ سَعْدِ ابْنِ عُبَدََةَ وَهُوَغَائِبُ عَنْهَا فـَقَالَ يَا رَشُولُ الله إنَّ أمِّى تُوُفِّيَتْ وَاَنَاغَائِبٌ عَنْهَا أيَنفَعُهَا شَيْئٌ إنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنـْهَا؟ قـَالَ نَعَمْ, قَالَ فَإنِّي أشْهِدُكَ أنْ حَائِطي المِخْرَافُ صَدَقَةٌ عَنْهَا
“Ibu Saad bin Ubadah meninggal dunia disaat dia
(Saad bin Ubadah) sedang tidak ada ditempat. Maka berkatalah ia: ‘Wahai
Rasulallah! Sesungguhnya ibuku telah wafat disaat aku sedang tidak ada
disisinya, apakah ada sesuatu yang bermanfaat untuknya jika aku sedekahkan ?
Nabi menjawab; Ya ! Berkata Sa’ad bin Ubadah : Saya persaksikan kepadamu (wahai
Rasulallah) bahwa kebun kurma saya yang sedang berbuah itu sebagai sedekah
untuknya’.” (HR Bukhori, Turmudzi dan Nasa’i)
Dalil kelima:
عَنْ مَعْقِلِ بْنِ
يَسَارٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ اَلنَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ اقْرَؤُوا عَلَى مَوْتَاكُمْ يس رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ
وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ
"Dari Ma'qil bin Yasar bahwa Rasulullah Saw
bersabda: 'Bacalah surat Yasin di dekat orang-orang yang meninggal.' Ibnu Hajar
berkata: Diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Nasa'i dan disahihkan oleh Ibnu
Hibban"
Kesimpulan Hukum
Masih banyak hadist-hadist lainnya yang menjadi landasan masalah ini. Namun tidak saya tulis semua. Sebenarnya satu atau dua hadist saja sudah cukup untuk menjadi landasan hukum, selama kita selalu berpegang pada ayat ketujuh surah Al-Hasyr (59):
..Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah (Jadikan pedoman).
Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah (jangan lakukan)...
dan juga selalu mengingat hadist Nabi:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
dari Anas bin Malik ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa sengaja berdusta atas namaku maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di dalam neraka. (HR. Imam Bukhari dan Muslim)
Jika seseorang mengatakan"tidak" padahal Nabi mengatakan "ya", dan jika dia mengatakan "tidak boleh" padahal Nabi mengatakan "boleh", maka orang tersebut telah melakukan kebohongan atas nama Nabi. Sungguh celaka, dia akan menempati neraka.
+ komentar + 3 komentar
"Tahlil atau lebih dikenal dengan istilah tahlilan, telah diamalkan umat Islam di bumi Nusantara ini sejak awal penyebaran Islam di Indonesia."
Emangnya di zaman nabi udah ada amalan kaya gini? Kalo nabi ga pernah mengerjakan & memerintahkan tapi kita membuat amalan ibadah seperti itu namanya apa? Bid'ah.
Tapikan dalil haditsnya banyak? & Tahlil itu bid'ah hasanah? Coba perhatikan baik baik dialog ini:
Gw : “Bang, katanya, tahlilan yang abang lakukan ntu bid’ah Bang”
Rifan : “Bid’ah gimana ??? Masak orang demen ngucapan La ilaha ilallah kok dilarang ?? Justru dapet pahala, tau ?!”
Gw : “Bukan gitu bang, selain tahlilan yang abang amalkan ntu katanya bukan dari Nabi, kagak ada contohnya dari kanjeng Nabi. Bid’ah pan itu namanya…”
Rifan : “Tong, itu namanya bid’ah hasanah. Bid’ah yang baek, karena maksudnya baek. Mau tahlil, yang penting isinya baek. Lagian, kan gak ada larangannya”
Di lain kesempatan gw dan Rifan ketemu lagi ketika ngatre di depan toilet umum :
Gw : “Allaahumma baarik lana fii maa razaqtanaa wa qinaa ‘adzaaban-naar”(lalu A masuk toilet)”.
[setelah A keluar]
Rifan: “Tong, doa yang ente baca itu doa mau makan, bukan buat masuk WC”
Gw : Kemarin ane nemu ni doa di kertas bungkus kacang. Baca terjemahannya, kok bagus, mohon berkah dan dijauhkan dari neraka. Bagus kan ?? Kan kata abang tempo hari, yang penting baik dan gak ada larangan ngucapinnya. Jadi ane pikir, kalau setiap ane masuk WC ngucapin ini doa, ane pasti dikasih pahala. Dan kalaupun bid’ah, ya bid’ah hasanah lah”
Rifan : “Bukan gitu tong. Tetep saja itu doa makan. Santri diniyyah aja tau kok. Dan memang gitu yang diajarin pak kiyai sama ane dan santri laennya. Kalau doa masuk toilet tu : Allaahumma a’uudzubika minal-khubutsi wal-khabaaits. Masing-masing doa itu ade tempatnya Tong, jangan bikin aturan sendiri seenaknya”
Gw : “Nah lho, gimana sih Bang ?? Abang sendiri yang kemaren bilang asalkan baek kagak apa-apa diamalkan, kalopun bid'ah ya itu bid’ah hasanah. Jadi ane pikir boleh-boleh saja ngasal doa, yang penting baek Bang.. Lagian kan kagak ada larangannya Bang”
Rifan : (Speechless sambil ngelap keringet)..
Jadi tahlilan itu ya sama aja kaya baca doa makan untuk masuk WC. Paham? Jangan di hapus ya!
Makanya ngaji dong di Salafi https://www.facebook.com/groups/830079140349922/
Biar ngga merasa paling pool dewe!
Wah argumen dan sanggahan baru nih ye... Oke, nanti saya tanggapi di tulisan lain soal sanggahan-sanggahan kaum anti tahlil mengenai boleh tidaknya tahlilan.
Posting Komentar