-->
Home » , » Cerpen Jubab Surga oleh Rifan Herriyadi

Cerpen Jubab Surga oleh Rifan Herriyadi

Written By Lens@ Bulletin on 20 Des 2014 | 12.55


Jubah Surga
Oleh: Rifan Herriyadi
            Sore ini, tak seperti biasanya aku duduk bersandar di bawah pohon randu di seberang jalan rumahku. Sang surya mulai meredup meninggalkan senja kala, seperti halnya hatiku yang redup ketika menatap siluet puing-puing bangunan. Indah, namun tragis nan menyayat hati. Orang-orang desa berseliweran di jalan itu tak mempedulikanku, mungkin mereka tak mengenaliku setelah delapan tahun aku tak kembali ke desa ini. Sebagian besar dari mereka telah pulang dari kebun dengan pakaian berlumuran tanah merah di kebun kami yang terletak di pegunungan Desa Gembong, sedangkan dua atau tiga dari mereka tampak menuju masjid dengan berpakaian putih-putih. Aku pun sebenarnya juga tak peduli dengan mereka karena di dalam hatiku sekarang hanya bersarang kegeruhan yang mendalam.
            Sesungguhnya rasa riang dan gempita terasa mengalir deras sepanjang pembuluh darahku. Bagaimana tidak, yang ada di pelupuk mataku sekarang hanyalah kerinduan yang terpendam. Kerinduan akan surga masa kecilku yang luntur. Rumahku, tepatnya rumah masa laluku, rumah yang digunakan orang tuaku untuk menampung belasan santrinya dan menyimak hapalan Quran setiap ba’da subuh dan magrib. Kini hanya tinggal puing-puing berserakan ditumbuhi semak dan lumut. Hawa kenangan masih bisa kurasakan hanya beberapa meter dari tempatku bermurung durja ini.
            Sekonyong-konyong genggaman tanganku semakin mengeras, ritme detak jantungku meningkat drastis, kepalaku seakan mendidih karena otakku ingin meledak. Abah! Tetes demi tetes air mata tak kuasa kubendung tatkala mengenang nama itu, dan telapak tangan ini terasa semakin sakit. Sakit yang semakin menjadi-jadi kala kudengar lantunan adzan dari masjid yang penuh cerita itu.
            Ketika aku berusia tujuh tahun, saat itu kau memerintahku untuk nderes[1] ba’da subuh namun aku malah melarikan diri menuju masjid. Entah setan dari mana yang memerintahkanku untuk mengambil mikrofon masjid dan menyanyikan sebuah lagu yang sering kudengar di kaset CDku,Du di du di dam dam Du di du di dam, Du di du di dam dam, Du di du di dam, Kamu makannya apa.. Saya julu masaknya.. Ada tempe goleng.. , ada ayam goleng.. Semua yang digoleng.. (oseng, oseng, oseng )” Belum selesai menyanyikan lagu tersebut, tiba-tiba terdengar riuh di teras masjid.
“Hoe, si Cadel bikin ulah lagi, kapan kapokmu, Le[2]..” damprat Kang Sholikin yang merupakan salah satu pengurus remaja masjid.
“Saya laporkan ke Yi Rahmat kamu nanti,” sambung salah satu ibu-ibu jama’ah.
Sesampainya di rumah, abah sudah menungguku, tanpa banyak tanya karena bukti dan saksi sudah jelas beliau langsung memanggilku.
“Sini Le, cah ganteng. Eh, disuruh nderes lha kok malah lari.Tanpa terlihat ekspresi marah beliau memegang telingaku dengan halus sehingga aku manut mengikuti perintahnya.
“Ampun bah.., ampun..,aku merengek meminta belas kasihan agar tidak dihukum.
“Diulangi lagi apa tidak? Kapok?” Sambil beliau memelintir daun telingaku.
“Kapok Bah.., kapok..,ucapku sambil meringis-meringis kesakitan.
***
            Kehidupanku mulai berubah. Semua bermula pada suatu pagi ketika abah ditemui empat orang berjas putih, dua diantaranya mengobrol dengan abah di ruang tamu, dua lainnya kembali ke mobil dan hanya mengawal sampai depan rumah. Waktu itu aku masih kelas empat SD, namun aku bisa memahami bahwa mereka semua adalah pegawai partai, sebab di mobil dan jas mereka terdapat logo partai politik. Rasa penasaranku semakin memuncak kala abahku mengadakan pembicaraan dengan dua orang tersebut. Dengan polos aku mengintip dan menguping pembicaraan mereka.
            “Ayo lah, Pak Kiai, demi kemajuan bangsa dan tegaknya ajaran Islam yang kaffah apalagi yang perlu diragukan?” Seorang dengan jenggot panjang di dagunya mencoba meyakinkan abah dengan ekspresi yang menyeringai. Lincah bahasa tubuhnya mengingatkanku pada tukang sulap yang menyembunyikan sesuatu untuk menipu penonton. Tatapan matanya menghipnotis sehingga abah mengangguk-angguk saja tanpa menyangkal sedikitpun.
            “Kami para ikhwan-ikhwan telah sepakat bahwa Pak Yai lah yang pantas mengemban amanat menjadi gubernur Jateng periode ini. Oleh sebab itu kami ingin mencalonkan Pak Kiai atas nama partai kita tercinta ini,” kata seorang lainnya yang tampak lebih muda. Menurutku gaya bicaranya kurang meyakinkan daripada yang berjenggot, penampilannya pun lebih norak karena memadukan jas putih dengan celana cingkrang tiga perempat.
            Sejak pagi sialan itu, hidup kami mulai berubah. Abah semakin sibuk dengan urusan partai dan pencalonan dirinya sebagai gubernur. Foto-foto abah dipajang di jalan-jalan dengan jas putih seperti yang dikenakan orang-orang tadi. Jadwal ngaji santri-santrinya diganti sehari sekali dan diliburkan pada hari jumat dan minggu.
            Orang pertama yang tidak setuju dengan keputusan abah tersebut adalah ibuku. Walaupun kehidupan kami dan santri-santri semakin makmur karena sumbangan dari Arab Saudi mengalir berkat bantuan parpol itu. Bangunan rumah yang sekaligus pondok kami ini juga telah direnovasi sedemikian rupa sehingga lebih terkesan modern dan nyaman.
            “Sudah lah, Bah. Kita syukuri saja apa yang kita miliki sekarang. Ini kan waktunya jenengan[3] pensiun. Biar lah yang muda-muda saja yang terjun di dunia politik. Abah fokus mengajar saja. Toh uang pensiunan Ibu dan Abah lebih dari cukup untuk menghidupi kita dan santri-santri kita. Untuk apa memiliki kesibukan baru?” Kata ibuku mencoba memperingatkan abah.
            “Sudah terlambat, Buk. Namanya juga pengabdian, ya harus bekerja keras untuk kepentingan orang banyak. Ibuk percaya kan kalau abah tidak akan mengejar harta. Semua ini amanat, Buk. Doakan saja semoga semuanya lancar,balas abah meyakinkan ibu.
            Justru aku yang merasa tidak nyaman dengan kesibukan baru abah. Tak ada lagi yang menegurku ketika aku membuat kesalahan, tak ada yang mengobraki aku untuk nderes, tak ada yang menghukumku ketika aku membuat ulah. Bahkan aku jarang melihat abah di rumah.
Saking geramnya diriku, aku mencoba mengetes Abah. Ketika Wak Kaji Karmin, teman abah yang juga anggota partai yang mencalonkan abah sebagai gubernur. Kuikat sepeda untanya dengan benang wol yang biasa aku gunakan sebagai pengikat layangan sowangan. Lalu aku lempar ujung satunya melewati cabang pohon randu seolah-olah cabang tersebut aku gunakan sebagai katrol. Kemudian aku tarik sekuat tenaga supaya sepeda tersebut tersangkut di pohon randu depan rumahku itu. Setelah sampai di atas, aku ikat ujung benang tadi di pohon yang lain agar sepedanya tetap berada di atas pohon.
“Weee, La dalah, sepedaku temangsang[4]!! Kurang ajar, anak setan. Siapa yang berani melakukan itu?” Umpat Wak Kaji Karmin ketika melihat sepedanya berada di atas pohon randu.
Sukses aksiku membuat abah benar-benar marah. Abah tak pernah terlihat marah walaupun ketika menghukumku sekalipun. Sedangkan kali ini abah tak menghukumku namun terlihat sangat marah. Bahkan aku belum pernah melihat abah semarah ini. Namun anehnya beliau tak menyapaku sama sekali, apalagi menghukumku.
Belum sempat aku meminta maaf pada abah, suatu kejadian yang tak terduga menimpa kami. Malam itu aku berlarian di lantai dua rumahku mengganggu santri-santri ayahku yang sedang muroja’ah[5]. Tiba-tiba dari halaman rumahku terdengar keributan. Batu-batu berterbangan di rumahku mengenai kaca dan genteng. Bahkan hampir mengenai diriku, jika saja tidak ada Kang Muhsin yang melindungiku.
“Bakar semuanya.., musnahkan.., tangkap teroris itu.., selamatkan desa kita..,” riuh teriakan warga memecah heningnya malam.
Semuanya berlindung di kamar!” Teriak Kang Muhsin sembari menggendongku menuju kamar di pojok ruangan yang jauh dari jendela.
“Rusdi, jaga Gus Andra bersama yang lain. Aku mau menemui Pak Yai dan Bu Nyai di bawah” Perintah Kang Muhsin kepada wakilnya.
“Apa yang terjadi? Kenapa mereka menyerang kita? Apa itu teroris?” Kata Sulaiman yang usianya satu tahun lebih tua dariku bertanya-tanya dengan nada ketakutan.
Warga mengamuk, Mati lah kita semua, bisa mati konyol kita di sini,tambah mas Agus dengan gugup.
 “Sudah-sudah! Jangan berkata yang tidak-tidak. Kita semua akan selamat. Jangan takut, Allah bersama kita!” Kang Rusdi mencoba untuk menenangkan mereka semua.
Brak!! Tiba-tiba pintu kamar kami terbuka dengan keras karena dobrakan Kang Muhsin yang diikuti ibuku dari belakang.
Gawat! Mereka membawa pergi Pak Yai.” Kata Kang Muhsin Sambil ngos-ngosan. Dahinya dipenuhi darah, namun ia tak mempedulikannya.
Ayo semuanya turun keluar lewat pintu belakang!Perintah ibuku sambil menangis.
Kita hanya menurut, diam seribu bahasa. Aku berlari memeluk ibuku “Andra, sini nak. Kamu tidak apa-apa?” Sambil meraba-raba seluruh tubuhku untuk memastikan tidak ada luka di tubuhku.
“Ibu, Abah di mana?” Ini pertama kalinya dalam hidupku menanyakan keberadaan abah, padahal biasanya selalu menghindar.
Aku belum sempat minta maaf pada beliau. Beliau tidak mau berbicara kepadaku selama seminggu setelah kejadian sepeda temangsang. Apakah ini hukuman abah untukku?
***
16 April 2014, Setelah lama merenung di bawah pohon, kugerakkan diriku menuju Masjid penuh kenangan itu. Setelah sholat magrib secara munfarid, aku menyempatkan diriku untuk mengirimkan doa kepada kedua orang tuaku. Kemudian aku terdiam termenung sambil mengingat nama itu lagi, Abah! Hingga saat ini belum jelas di mana keberadaan beliau, apalagi keadaan beliau, tak seorang pun tahu. Hanya pelaku dan dalang dari semua peristiwa ini yang tahu.
Pihak berwajib sudah mulai lelah menelusuri kasus ini. Kabar terakhir yang aku terima bahwa masyarakat telah dipropaganda untuk menangkap abah, lalu menyerahkannya kepada sekelompok orang berseragam seperti ABRI. Tak ada yang serius menangani kasus ini seakan-akan mereka semua dibungkam. Kabar di media masa pun dimanipulasi dengan menghilangkan fakta-fakta yang ada. Mulai dari pengaihan isu-isu antah berantah hingga kasus abah semakin redup dan terlupakan. Seolah-olah semua sandiwara ini diatur oleh sang sutradara.
Jika saja aku tahu di mana abah sekarang, pasti akan kutemui beliau walau ke ujung dunia sekalipun lalu aku akan mengatakan sambil memeluk beliau, “Andra sayang Abah, maafkan Andra yang sering membuat Abah kecewa. Andra janji tidak akan mengulanginya lagi. Sekarang Andra sudah menyelesaikan hapalan 30 juz seperti yang Abah cita-citakan. Akhirnya Andra bisa mempersembahkan jubah kemuliaan ini untukmu, Abah.”


[1] Membaca Al-Quran
[2] Dari kata ‘tole’, panggilan untuk anak kecil di jawa
[3] Anda
[4] Tersangkut di atas
[5] Mengulang dan melancarkan hapalan Al-Quran
Bagikan Berita Ini :

+ komentar + 2 komentar

1 Januari 2015 pukul 09.39

Five stars! Absolutely enjoyable read :)

6 Januari 2015 pukul 06.04

Thank you :)

Posting Komentar

 
Created by: Pecros.Com | Blog kocar kacir
Copyright © 2015. Rifan Herriyadi - All Rights Reserved