Oleh: Rifan Herriyadi
Sore ini, tak seperti biasanya aku
duduk bersandar di bawah pohon randu di seberang jalan rumahku. Sang surya
mulai meredup meninggalkan senja kala,
seperti halnya hatiku yang redup ketika menatap siluet puing-puing bangunan.
Indah, namun tragis nan menyayat hati. Orang-orang desa berseliweran di jalan
itu tak mempedulikanku, mungkin
mereka tak mengenaliku setelah delapan tahun aku tak kembali ke desa ini.
Sebagian besar dari mereka telah pulang dari kebun dengan pakaian berlumuran
tanah merah di kebun kami yang terletak di pegunungan Desa Gembong, sedangkan
dua atau tiga dari mereka tampak menuju masjid dengan berpakaian putih-putih. Aku
pun sebenarnya juga tak peduli dengan mereka karena di dalam hatiku sekarang
hanya bersarang kegeruhan yang mendalam.
Sesungguhnya rasa riang dan gempita
terasa mengalir deras sepanjang pembuluh darahku. Bagaimana tidak, yang ada di
pelupuk mataku sekarang hanyalah kerinduan yang terpendam. Kerinduan akan surga
masa kecilku yang luntur. Rumahku, tepatnya rumah masa laluku, rumah yang
digunakan orang tuaku untuk menampung belasan santrinya dan menyimak hapalan
Quran setiap ba’da subuh dan magrib. Kini hanya tinggal puing-puing berserakan ditumbuhi
semak dan lumut. Hawa kenangan masih bisa kurasakan hanya beberapa meter dari
tempatku bermurung durja ini.
Sekonyong-konyong
genggaman tanganku semakin mengeras, ritme detak
jantungku meningkat drastis, kepalaku seakan mendidih karena otakku ingin
meledak. Abah! Tetes demi tetes air mata tak kuasa kubendung tatkala mengenang
nama itu, dan telapak tangan ini terasa semakin sakit. Sakit yang semakin
menjadi-jadi kala kudengar lantunan adzan dari masjid yang penuh cerita itu.
Ketika aku berusia tujuh tahun, saat
itu kau memerintahku untuk nderes[1]
ba’da subuh namun aku malah melarikan diri menuju masjid. Entah setan dari mana
yang memerintahkanku untuk mengambil mikrofon masjid dan menyanyikan sebuah lagu yang sering kudengar di kaset CDku,
“Du di du di dam dam Du di du di dam,
Du di du di dam dam, Du di du di dam, Kamu makannya apa.. Saya julu masaknya..
Ada tempe goleng.. , ada ayam goleng.. Semua yang digoleng.. (oseng, oseng,
oseng )” Belum selesai menyanyikan lagu tersebut, tiba-tiba terdengar riuh di teras masjid.
“Hoe, si Cadel bikin ulah lagi, kapan kapokmu, Le[2]..” damprat Kang Sholikin yang merupakan salah
satu pengurus remaja masjid.
“Saya laporkan ke Yi Rahmat kamu nanti,” sambung salah satu ibu-ibu jama’ah.
Sesampainya di rumah, abah sudah menungguku,
tanpa banyak tanya karena bukti dan saksi sudah jelas beliau langsung
memanggilku.
“Sini Le, cah ganteng. Eh, disuruh nderes
lha kok malah lari.” Tanpa terlihat ekspresi marah beliau memegang
telingaku dengan halus sehingga aku manut
mengikuti perintahnya.
“Ampun bah.., ampun..,” aku merengek meminta belas kasihan agar tidak
dihukum.
“Diulangi lagi apa tidak? Kapok?”
Sambil beliau memelintir daun telingaku.
“Kapok Bah.., kapok..,” ucapku sambil meringis-meringis kesakitan.
***
Kehidupanku
mulai berubah. Semua bermula pada suatu pagi ketika abah
ditemui empat orang berjas putih, dua diantaranya mengobrol dengan abah di
ruang tamu, dua lainnya kembali ke mobil dan hanya mengawal sampai depan rumah.
Waktu itu aku masih kelas empat SD,
namun aku bisa memahami bahwa
mereka semua adalah pegawai partai, sebab di mobil dan jas mereka terdapat logo
partai politik. Rasa penasaranku semakin memuncak kala abahku mengadakan
pembicaraan dengan dua orang tersebut. Dengan polos aku mengintip dan menguping
pembicaraan mereka.
“Ayo lah, Pak Kiai, demi kemajuan
bangsa dan tegaknya ajaran Islam
yang kaffah
apalagi yang perlu diragukan?” Seorang dengan jenggot panjang di dagunya
mencoba meyakinkan abah dengan ekspresi yang menyeringai. Lincah bahasa
tubuhnya mengingatkanku pada tukang sulap yang menyembunyikan sesuatu untuk
menipu penonton. Tatapan matanya menghipnotis sehingga abah mengangguk-angguk
saja tanpa menyangkal sedikitpun.
“Kami para ikhwan-ikhwan telah
sepakat bahwa Pak Yai lah yang pantas mengemban amanat menjadi gubernur Jateng periode ini. Oleh
sebab itu kami ingin mencalonkan Pak Kiai atas
nama partai kita tercinta ini,”
kata seorang lainnya
yang tampak lebih muda. Menurutku gaya bicaranya kurang meyakinkan daripada
yang berjenggot, penampilannya pun
lebih norak karena memadukan jas putih dengan celana cingkrang tiga perempat.
Sejak pagi sialan itu, hidup kami
mulai berubah. Abah semakin sibuk dengan urusan partai dan pencalonan dirinya sebagai gubernur.
Foto-foto abah dipajang di jalan-jalan dengan jas putih seperti yang dikenakan
orang-orang tadi. Jadwal ngaji santri-santrinya diganti sehari sekali dan
diliburkan pada hari jumat dan minggu.
Orang pertama yang tidak setuju
dengan keputusan abah tersebut adalah
ibuku. Walaupun kehidupan kami dan santri-santri semakin makmur karena
sumbangan dari Arab Saudi mengalir berkat bantuan parpol itu. Bangunan rumah
yang sekaligus pondok kami ini juga telah direnovasi sedemikian rupa sehingga
lebih terkesan modern dan nyaman.
“Sudah lah, Bah. Kita syukuri saja
apa yang kita miliki sekarang. Ini kan waktunya jenengan[3]
pensiun. Biar lah yang muda-muda saja yang terjun di dunia politik. Abah fokus mengajar saja.
Toh uang pensiunan Ibu dan Abah lebih dari cukup untuk menghidupi kita dan
santri-santri kita. Untuk apa memiliki kesibukan baru?” Kata ibuku mencoba memperingatkan
abah.
“Sudah terlambat, Buk. Namanya juga
pengabdian, ya harus bekerja keras untuk kepentingan orang banyak. Ibuk percaya
kan kalau abah tidak akan mengejar harta. Semua ini amanat, Buk. Doakan saja
semoga semuanya lancar,”
balas abah meyakinkan ibu.
Justru aku yang merasa tidak nyaman
dengan kesibukan baru abah.
Tak ada lagi yang menegurku ketika aku membuat kesalahan, tak ada yang mengobraki aku untuk nderes,
tak ada yang menghukumku ketika aku membuat ulah. Bahkan aku jarang melihat
abah di rumah.
Saking
geramnya diriku, aku mencoba mengetes Abah. Ketika Wak Kaji Karmin, teman abah
yang juga anggota partai yang mencalonkan abah sebagai gubernur. Kuikat sepeda
untanya dengan benang wol yang biasa aku gunakan sebagai pengikat layangan sowangan. Lalu aku lempar ujung satunya
melewati cabang pohon randu seolah-olah cabang tersebut aku gunakan sebagai
katrol. Kemudian aku tarik sekuat tenaga supaya sepeda tersebut tersangkut di
pohon randu depan rumahku itu. Setelah sampai di atas, aku ikat ujung benang tadi
di pohon yang lain agar sepedanya tetap berada di atas pohon.
“Weee,
La dalah, sepedaku temangsang[4]!!
Kurang ajar, anak setan. Siapa yang
berani melakukan itu?” Umpat Wak Kaji Karmin ketika
melihat sepedanya berada di atas
pohon randu.
Sukses
aksiku membuat abah benar-benar marah. Abah tak pernah terlihat marah walaupun
ketika menghukumku sekalipun. Sedangkan
kali ini abah tak menghukumku namun terlihat sangat marah.
Bahkan aku belum pernah
melihat abah semarah ini. Namun anehnya
beliau tak menyapaku sama sekali, apalagi menghukumku.
Belum
sempat aku meminta maaf pada abah, suatu kejadian yang tak terduga menimpa kami.
Malam itu aku berlarian di lantai dua rumahku mengganggu santri-santri ayahku yang sedang muroja’ah[5].
Tiba-tiba dari halaman rumahku terdengar keributan. Batu-batu berterbangan di
rumahku mengenai kaca dan genteng. Bahkan hampir mengenai diriku, jika saja
tidak ada Kang Muhsin yang melindungiku.
“Bakar semuanya.., musnahkan.., tangkap teroris itu..,
selamatkan desa kita..,” riuh teriakan warga memecah heningnya malam.
“Semuanya berlindung di
kamar!” Teriak Kang Muhsin sembari menggendongku menuju kamar di pojok ruangan
yang jauh dari jendela.
“Rusdi,
jaga Gus Andra bersama yang lain. Aku mau menemui Pak Yai dan Bu Nyai di bawah”
Perintah Kang Muhsin kepada wakilnya.
“Apa
yang terjadi? Kenapa mereka menyerang kita?
Apa itu teroris?” Kata Sulaiman yang usianya satu tahun lebih tua dariku
bertanya-tanya dengan nada ketakutan.
“Warga mengamuk, Mati lah kita
semua, bisa mati konyol kita di sini,”
tambah mas Agus dengan gugup.
“Sudah-sudah! Jangan berkata yang tidak-tidak.
Kita semua akan selamat. Jangan takut, Allah bersama kita!” Kang Rusdi mencoba
untuk menenangkan mereka semua.
Brak!! Tiba-tiba pintu kamar
kami terbuka dengan keras karena
dobrakan Kang Muhsin yang diikuti ibuku dari belakang.
“Gawat! Mereka membawa pergi Pak Yai.”
Kata Kang Muhsin Sambil ngos-ngosan. Dahinya dipenuhi darah, namun ia tak mempedulikannya.
“Ayo semuanya turun keluar lewat pintu belakang!”
Perintah ibuku sambil menangis.
Kita
hanya menurut, diam seribu bahasa. Aku
berlari memeluk ibuku “Andra, sini nak. Kamu tidak
apa-apa?” Sambil meraba-raba seluruh tubuhku untuk memastikan tidak ada luka di tubuhku.
“Ibu,
Abah di mana?” Ini
pertama kalinya dalam hidupku menanyakan keberadaan abah, padahal biasanya selalu menghindar.
Aku
belum sempat minta maaf pada beliau. Beliau tidak mau berbicara kepadaku selama
seminggu setelah kejadian sepeda temangsang.
Apakah ini hukuman abah untukku?
***
16 April 2014, Setelah lama merenung di bawah pohon, kugerakkan diriku menuju
Masjid
penuh kenangan itu. Setelah sholat magrib secara munfarid, aku menyempatkan diriku untuk
mengirimkan doa kepada kedua orang tuaku. Kemudian aku terdiam termenung sambil mengingat nama
itu lagi, Abah! Hingga saat ini belum jelas di mana keberadaan beliau, apalagi keadaan
beliau, tak seorang pun tahu. Hanya pelaku dan dalang dari semua peristiwa ini
yang tahu.
Pihak berwajib sudah mulai lelah menelusuri kasus ini.
Kabar terakhir yang aku terima bahwa masyarakat telah dipropaganda untuk
menangkap abah, lalu menyerahkannya kepada sekelompok orang berseragam seperti
ABRI. Tak ada yang serius menangani kasus ini seakan-akan mereka semua
dibungkam. Kabar di media masa pun dimanipulasi dengan menghilangkan
fakta-fakta yang ada. Mulai dari pengaihan isu-isu antah berantah hingga kasus
abah semakin redup dan terlupakan. Seolah-olah semua sandiwara ini diatur oleh sang
sutradara.
Jika
saja aku tahu di mana abah sekarang, pasti akan kutemui beliau walau ke ujung dunia sekalipun lalu aku akan mengatakan sambil memeluk beliau, “Andra
sayang Abah, maafkan Andra yang sering membuat Abah kecewa. Andra janji tidak
akan mengulanginya lagi. Sekarang Andra sudah menyelesaikan hapalan 30 juz
seperti yang Abah cita-citakan. Akhirnya Andra bisa mempersembahkan jubah
kemuliaan ini untukmu, Abah.”
+ komentar + 2 komentar
Five stars! Absolutely enjoyable read :)
Thank you :)
Posting Komentar